Minggu, 28 April 2013

Syekh Jamil Jaho

Syeikh Inyiak Muhammad Jamil Jaho

Jaho adalah sebuah daerah kecil yang terletak di bukit Tambangan, antara
wilayah perbatasan Aceh, Padang Panjang, dan Tanah Datar, Minang (Sumatera
Barat). Daerahnya sejuk dan asri, penduduknya bersahaja, dan hidup secara
rukun dan damai.

Di tengah daerah yang indah itu, lahirlah seorang ulama yang sangat
kharismatik. Beliau adalah Syaikh Muhammad Jamil Jaho, yang kerap dipanggil
Buya Jaho, atau Inyiak Jaho, atau Angku Jaho. Nama beliau demikian dikennal
dan dikenang oleh banyak masyarakat Minang.

Inyiak Jaho lahir pada tahun 1875 di Jaho. Ayahnya bergelar Datuk Garang
yang berasal dari Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang ayah pernah
menjabat sebagai Qadhi daerah. Ibunya, adalah seorang perempuan yang
disegani di tengah-tengah masyarakat.


Muhammad jamil dibesarkan di tengah keluarga yang kuat menjalankan tradisi
dan agama. masa kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat kental.
Beliau belajar al-Qur'an dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu
yang ditulis dengan huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan
kesungguhannya, pada usia 13 tahun, Muahmmad Jamil telah hafal Al-Qur'an dan
isi kitab perukunan.

Melihat kecerdasan dan kesungguhan Muhammad Jamil, sang ayah lalu
berinisiatif untuk mengjarinya kitab-kitab kuning. Dalam beberapa waktu yang
cukup singkat, Muhammad Jamil mampu mencerna maksud yang terkandung dalam
kitab gundul tersebut, dan cakap menguasai bahasa Arab, baik secara lisan
atau tulisan. Latar belakang keluarga yang alim inilah, yang membuat
Muahmmad Jamil senantiasa haus akan ilmu agama, sehingga ia pun melanjutkan
pengaisan ilmunya kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu.

Muhammad jamil semakin tumbuh sebagai sosok yang senantiasa dahaga akan ilmu
agama. maka ia pun pergi menuju halaqah atau majlis ilmu pesantren Syeikh
al-Jufri di Gunung Raja, Batu Putih, Padang Pajang. Selama belajar di
pangkuan Syeikh al-Jufri, Muhammad Jamil menunjukkan ketekunan dan
kecerdasannya sehingga ia pun menjadi murid kesayangan sang Syeikh. Ilmu
agama yang telah ia ais pun kian hari kian banyak.

Selepas menyelesaikan belajar di halaqah pesantren Syeikh al-Jufri pada
tahun 1893, Muhammad Jamil melanjutkan pendidikannya ke seorang ulama ahli
fikih terkenal, Syeikh al-Ayyubi di Tanjung Bungo, Padang Ganting. Di
pesantren barunya inilah Muhammad Jamil berteman akrab dengan Sulaiman
ar-Rusuli, yang kelak menjadi seorang Syeikh terkenal dari tanah Minang.
Keduanya adalah santri yang pandai, dan belajar dari Syeikh al-Ayyubi selama
enam tahun. Selepas itu, keduanya melanjutkan mengaji ke Biaro Kota Tuo,
sebuah tepat berkumpulnya ulama-ulama besar Minang, seperti Syeikh Abdus
Shamad, Faqih Shagir, dan lain-lain.

Pada tahun 1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman ar-Rasuli pindah mengaji ke
Syeikh Abdullah Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir ilmu fikih
dan ushul fikih. Di perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil dipercaya
untuk menjadi seorang pengajar (ustadz) dan asisten pribadi syeikh Halaban
yang kerap dibawa ke pengajian-pengajian keliling negeri Minang.

Pada tahun 1908, atas dahaganya Muhammad Jamil akan ilmu agama, ia pun pergi
ke Mekkah Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk mengais ilmu.
Sebelum berangkat ke tanah suci, Muhammad Jamil dipersuntingkan dengan gadis
Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak mengaruniai dua orang puteri
bernama Samsiyyah dan Syafiah. Sebelum berangkat ke tanah suci pula, paman
Muhammad Jamil, Datuk bagindo Malano memberikannya gelar pusaka "Pakiah
Bagindo Malano", sebuah gelar kehormatan.

Di Mekkah, Jamil berguru kepada Syeikh Khatib Minangkabau, seorang putra
inang yang menjadi imam, khatib, sekaligus mufti madzhab Syafi'i di Masjid
al-Haram. Di Mekkah, beliau bertemu dan belajar bersama Syeikh Abdul Karim
Amrullah (ayahanda Buya Hamka). Keduanya menjadi murid kesayangan Syeikh
Khatib, dan diberi kehormatan untuk membimbing dan mengajar murid-murid yang
lain.

Muhammad Jamil belajar di Mekkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia
telah memperoleh tiga ijazah ilmiyyah dari tiga orang ulama besar di Mekkah
pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab
syafi'i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki), dan Syeikh
Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali).


Sekembalinya dari tanah suci, Syeikh Jamil menjadi ulama terkenal dan
disegani karena kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya. Pada tahun 1922,
bersama-sama syeikh Sulaiman ar-Rusuli dan Syeikh Abdul Karim, beliau
mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib.

Di kampung halamannya pula, syeikh Muhammad jamil membuka halaqah pengajian
yang banyak didatangi oleh para pengais ilmu. Halaqah ini kelak menjadi
Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah Jaho.

Syeikh Inyiak Muhammad Jamil Jaho wafat pada tanggal 2 November 1945. Beliau
banyak meninggalkan kaya berharga yang menjadi suluh ummat di kemudian hari,
yaitu Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah 'Allamul Ghuyub, Nujumul Hidayah,
as-Syamsul Lami'ah, fil 'Aqidah wad Diyanah, Hujjatul Balighah, al-Maqalah
ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah, dan lain-lain.

*Disadur kembali oleh A. Ginandjar Sya'ban**,* diambil dari mukaddimah kitab
*Tadzkirah al-Qulub *karangan Syeikh Jamil Jaho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar