SYEKH ABDULLAH HALABAN (1846 - 1926)
"Si Ahli Mantiq"
Oleh : Hendra Bakti
"Syekh Abdullah adalah ulama yang ahli dalam
Ushul dan Matiq serta Tauhid. Beliau pemah menulis kitab tentang Ushul Fiqh dan
Itmu Tauhid. Kitabnya ini diakui para ulama pada zaman itu. Mengenai judul yang
pasti tentang karangannya tersebut tidak diketahui lagi sampai sekarang. Amat
disayangkan sekarang ini tidak diketahui dimana letaknya Kitab-Kitab karangan
Syekh Abdullah serta koleksi kitab-kitab yang lain" (Pengakuan salah seorang
keturunannya)
Abdullah, tepatnya Syekh Abdullah Halaban dilahirkan
pada tahun 1846 M. di kenagarian Halaban yang terletak kira-kira 20 km dari
kota Payakumbuh. Ayahnya terkenal dengan panggilan Beliau Sumanik, sedangkan
ibunya bernama Salamah. Abdullah dari kecil adalah seorang anak yang pemberani,
cerdas, cakap dan terampil, simpatik, ramah dan sangat disayangi oleh
teman-temannya, serta pandai bergaul dengan masyarakat. Orang-orang
mengatakannya "baso elok budi baik". Abdullah merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. Dua saudaranya yang lain adalah H. Hamid, dimana
masyarakat Halaban biasanya memanggil dengan sebutan "H. Amik". la
juga dikenal sebagai seorang ulama dan guru di Surau (pesantren) Syekh
Abdullah, tetapi kemasyhurannya tidak melebihi kakaknya, Syekh Abdullah.
Saudara yang kedua bernama H. Sulaiman. Beliau seperti Syekh Abdullah dijadikan
sebagai guru tua. H. Sulaiman berdakwah hanya disekitar daerah Halaban saja,
diluar Halaban ia tidak begitu dikenal. Dalam Kenagarian Halaban, keluarga
Syekh Abdullah termasuk keluarga "darah biru" (banqsawan) yaitu
kemenakan dari keluarga penghulu Dt. Rajo Sampono yang dikenal sebagai datuk
yang cukup kaya. Begitu juga dengan mamak Syekh Abdullah yang lainnya, Ahmad
Lonyok yang kemudian berganti nama menjadi H.Abdurrahman setelah beliau
menunaikan ibadah haji.
Pada masa kecil, Abdullah mengaji di bawah bimbingan
orang tuanya. Ibu dan bapaknya mengajarkan AI-Qur'an, dasar-dasar ibadah,
akhlak dan syariat Islam. Dari pendidikan rumah tangga bersama kedua orang
tuanya ini, Abdullah melanjutkan pelajarannya ke pendidikan surau yang ada di
Halaban waktu itu bersama saudara-saudaranya. Di surau ia mengajar mengaji
sebagaimana halnya yang berlaku pada anak-anak yang telah berumur tujuh sampai
sepuluh tahun. Orang tua Abdullah berharap kelak anak tersebut bisa menjadi
orang shaleh, pemimpin agama yang akan menyebarluaskan ajaran agama Islam. Pada
tahun 1861, ketika Syekh Abdullah berumur 15 tahun, setetah menamatkan kajinya
(pelajaran) di pendidikan surau, ia mohon izin dan do'a restu orang tuanya
berangkat untuk memperdalam ilmunya keluar daerah Halaban. Ketika itu dikampung
keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi,
karena belum ada satupun surau yang mampu memberikan metoda belajar yang baik
dan teratur. Cara belajar tergantung pada guru yang mengajar. Kalau waktu guru
lapang banyaklah waktu untuk belajar, tetapi kalau guru sibuk bisa jadi belajar
tidak dilakukan. Langkah pertama ia pergi meninggalkan kampung halamannya menuju
daerah-daerah di sekitar Kabupaten 50 Kota , seperti ke Batu Hampar, ke
Situjuh, kemudian ke Simabur di Batusangkar, ke Lintau dan daerah daerah
lainnya di Minangkabau, bahkan hingga ke Mekkah. Yang disebutkan terakhir ini
merupakan perjalanan yang dianggap paling jauh ketika itu.
Daerah dan guru pertama yang didatanginya adalah Batu
Hampar menemui guru yang bernama Syekh Abdurrahman. Ulama ini meruplan ulama
terkenal yang mempunyai ribuan murid dari berbagai daerah. Abdurrahman terkenal
dengan ilmunya yang dalam, terutama keahliannya dalam bidang ilmu Tilawatil
Quran. Dengan Syekh ini, Abdullah belajar ilmu Tilawatil Qur'an, ilmu alat
(Bahasa Arab), ilmu mantiq, ilmu ma'ani, ilmu bayan clan badi' serta ilmu fiqh,
tafsir dan lain-lain. Dari Batu Hampar, Abdullah terus melanjutkan
pendidikannya ke Simabur di Batusangkar dengan ulama yang ada disana,
"Beliau Simabur". Kemudian dari Simabur, Abdullah melanjutkan
pelajarannya ke surau yang ada di Sumanik. Di sini ia hanya belajar sebentar
karena beberapa tahun setelah itu ia berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan
pelajarannya sambil menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Abdullah
berangkat pertama kali pada tahun 1865 bersama mamaknya Ahmad Lonyok dan kedua
saudaranya Hamid dan Sulaiman. Di Mekkah Abdullah bermukim cukup lama, sekitar
lima tahun (1865-1870) dan belajar kepada ulama-ulama terkenal yang ada di
Mekkah terutama pada ulama-ulama Syafiiyah.
Tahun 1870, setelah menimba ilmu cukup intens di
Mekkah, ia kembali ke kampung halamannya di Halaban dan mendirikan surau
(pesantren) disana. Sekembalinya dari Mekkah ia masih terus berkelana menimba
ilmu dari ulama-ulama terkenal dimana saja, terutama di ketiga Luhak (Luhak
Agam, Luhak Tanah Datar clan Luhak 50 Kota) hingga sampai ke Tungka 50 Kota.
Dan sejak itu pula ia dipanggil dengan nama Syekh Abdullah (Beliau Halaban).
Banyak orang dari berbagai daerah di luar Halaban yang kemudian berdatangan
untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdullah ini. Di Situjuh Tungkar, Syekh
Abdullah mempunyai pengalaman yang unik daiam permulaannya menuntut ilmu. Pada
awalnya Syekh Abdullah mendengar dari orang lain bahwa di Situjuh Tungkar
terdapat seorang ulama yang dalam ilmunya dan ahli dalam ilmu alat (bahasa
Arab). Mendengar hal tersebut, maka pada tahun 1880-an Syekh Abdullah berangkat
ke tempat tinggal ulama tersebut dengan membawa seekor ayam jantan. Sesampainya
dirumah sang ulama, ulama tersebut bertanya pada Syekh Abdullah, "Untuk
apa kamu membawa ayam ini ?". Syekh Abdullah menjawab, "Saya ingin
bertanya jawab (diskusi maksudnya: ed.) tentang masalah agama dengan Tuan
guru". Ulama ini bertanya kembali, "Lalu apa hubungannya dengan ayam
ini ?”. Lalu Syekh Abdullah menjawab kembali, "Nanti kalau saya tidak
dapat menjawab pertanyaan Tuan Guru, maka saya akan belajar pada Tuan guru dan
ayam ini akan saya sembelih".
Setelah dialog berlangsung, ternyata Syekh Abdullah
tidak mampu melayani pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh utama Tungka
tersebut. Akhimya ia menyatakan keinginannya untuk belajar. Nama ulama Tungka
tersebut adalah Syekh Muhammad Djamil, dipanggil Beliau Tungka. Di bawah
bimbingan Beliau Tungka ini, Syekh Abdullah banyak belajar tentang ilmu ushul
fiqh, fiqh, dan ilmu mantiq untuk keahlian berbicara dan berbahasa. Waktu
belajar dengan Beliau Tungka ini, Syekh Abdultah tidak menetap seperti biasanya
dilakukan seorang murid apabila belajar pada gurunya. Ia hanya belajar dua atau
tiga kali dalam seminggu dan dia kemudian kembali ke Halaban, membina suraunya
disana. Begitulah, ia bolak-balik belajar di Tungka dan mengajar di Halaban. Di
Tungka ini, Syekh Abdullah dikawinkan oleh gurunya dengan anaknya yang bemama
Puti.
Pada tahun 1886, selain kepada Beliau Tungka, Syekh
Abdullah juga belajar pada Syekh Bustami dari Lintau di Batu Balang (Kecamatan
Harau sekarang). Syekh Bustami merupakan murid Tuanku Lintau (Tuanku Pasaman).
la melarikan diri ke Batu Balang karena diintimidasi oleh Belanda, karena
beliau ikut dalam peperangan-peperangan yang di lakukan oleh Tuanku Lintau. Di
Batu Balang Syekh Bustami ini mendirikan surau dan mengajar murid-murid yang
sangat banyak pula. Syekh Abdullah berguru pada Syekh Bustami hingga Syekh
murid Tuanku Lintau ini wafat pada tahun 1898 (Siradjuddin Abbas, 1994: 197).
Disamping belajar kepada ulama-ulama terkenal di Luhak
ini, Syekh Abdullah juga giat mengunjungi uiama-ulama terkemuka pada waktu itu
untuk berdiskusi dalam masalah-masalah agama dan menyelesaikan persengketaan
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, la juga tidak segan-segan mengakui
kealiman orang lain walaupun orang tersebut masih muda dari dirinya, seperti ia
pernah mengakui ketinggian ilmu Syekh Saad Mungka (Ibid, 199). Dengan
ulama-ulama terkenal pada waktu itu, ia saling berdialog dan bertukar fikiran
sehingga diantara mereka terjadi sharing ilmu, saling memberi dan menerima.
Syekh Abdullah tidak akan berhenti menghubungi ulama-ulama lain sebelum
pertanyaan-pertanyaannya terjawab dengan baik, seperti yang disebutkan Halim
Saadi dalam bukunya Mengenal Riwayat Hidup Syekh Muhammad Saad Khalidi (tidak
diterbitkan) :
"Syekh
Abdullah Payakumbuh guru oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli Candung, datang ke Koto
Tuo Mungka menemui Syekh Muhammad Saad untuk menguji dan menyatakan bermacam-macam
masalah agama. Setelah seminggu bertukar fikiran dengan Syekh Saad, Syekh
Halaban merasa puas dan mengakui bahwa Syekh Muhammad Saad adalah ulama besar
dan dalam ilmunya. Sebelumnya beliau telah mendatangi pula ulama-ulama lainnya,
tetapi belum satupun dari ulama-ulama itu yang bisa menyelesaikan masalah yang
diajukan".
Orang yang
alim terutama dari kalangan agama, banyak menjadi dambaan ummat. Orang banyak
yang bangga dan tertarik untuk mengambil Syekh Halaban sebagai menantunya atau
menjadi suami, apalagi waktu itu Syekh Abdullah merupakan ulama yang baru
pulang dari Mekkah. Sebuah derajat prestise yang sangat tinggi kala itu. Dari
hari ke hari cerana pinang datang silih berganti. Syekh Abdullah tidak banyak
menolak dalam hal ini. Ia banyak memperistri gadis-gadis waktu itu karena
adanya desakan dari orang tua gadis dan juga desakan dari gurunya. Menurut
penuturan keturunannya, Syekh Abdullah memiliki banyak istri, tetapi yang
silsilahnya sampai sekarang dapat diketahui hanya tujuh orang, yaitu : Saejie
(berasal dari Halaban), Siti (berasal dari Batu Balang), Janin (berasal dari
Bukit Sikumpa Batu Payuang), Mana (berasal dari Halaban) 5. Minsa (berasal dari
Halaban), Urai Sitawa (berasal dari Andalas), dan Puti (berasal dari Situjuh
Tungka).
Dari tujuh
orang istrinya tersebut, Syekh Abdullah dikaruniai 9 orang anak, 4 orang
laki-laki dan 5 orang perempuan. Dari istrinya yang pertama, Saejie ia
memperoleh 1 orang anak bemama Zainal Abidin. Zainal Abidin adalah salah
seorang dari anak Syekh Abdullah yang mengalir darah ulama dalam jiwanya.
Setelah dewasa ia berangkat bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekkah
pada tahun 1890-an. Zainal Abidin menetap secara permanen di kota suci ini
sampai akhir hayatnya. Sewaktu bermukim di Mekkah, Zainal Abidin pernah menjadi
polisi di Mekkah dan membuat pemukiman untuk menampung jamaah haji yang berasal
dari Minangkabau dan dari Indonesia. Istri Zainal Abidin bernama Saleha. Gadis
yang berasal dari Tanjung Alam Batusangkar. Mereka dikaruniai 3 orang akan
yakni Muhammad Shaleh, Muhammad Ghazi dan Abdullah. Muhammad Shaleh, anaknya
yang tertua, pernah menjadi anggota kepolisian Mekkah. la bersama adik-adiknya
melanjutkan pemukiman yang dibuat orang tuanya dan diberi nama dengan pemukiman
Saleha al-Minangkabawi. Keturunan dari Muhammad Shaleh ini ada yang menjadi
pegawai urusan haji di Mekkah hingga saat sekarang. Sampai sekarang hubungan
mereka dengan keturunan Syekh Abdullah di Halaban, Tanjung Alam, Bukit Sikumpar
dan Andalas masih terjalin dengan baik. Istrinya yang kedua, Mana, yang
dinikahi Syekh Abdullah tahun 1870 dikaruniai dua orang anak yang bernama
Mardiana dan Yahya. Dari istrinya yang ketiga, Puti (Anak gurunya di Tungka)
yang ia nikahi tahun 1880, Syekh Abdullah tidak memperoleh keturunan. Istrinya
keempatnya yang bemama Siti dari Batu Balang, dinikahi oleh Syekh Abdullah
tahun 1897. Dari Siti ini, Syekh Abdullah dikaruniai seorang anak wanita yang
bernama Ruqayyah. Ruqayyah ini kemudian dikawinkan oleh Syekh Abdullah dengan
muridnya yang paling cerdas dan paling disayanginya, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli.
Istrinya
yang kelima bernama Lanin dari Bukit Sikumpar Gadut yang dinikahinya pada tahun
1907 dan mempunyai keturunan dua orang, Sawiyah dan Burhan. Sedangkan istrinya
yang keenam bernama Urai Sitawa dad Andalas yang dinikahinya tahun 1913 dan
dikaruniai seorang anak laki-laki bemama Adnan. istrinya yang terakhir bemama
Minsa dari Halaban yang dinikahinya tahun 1919. Dari istrinya ini, Syekh
Abdullah dikaruniai anak yang bernama Juwairiyah,Latar belakang Syekh Abdullah
mempunyai istri sampai tujuh orang ini karena dilatar belakangi oleh berbagai
faktor yang bersifat sosial juga karena ia adalah orang jemputan. Pada umumnya
istri-istri Syekh Abdullah tidak ada yang mengharapkan belanja dari beliau
sebagaimana layaknya masa itu, di mana istri-istri ulama tidak terlalu
mengharapkan nafkah atau belanja dari suamiya.
Sepulangnya
dari menunaikan haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 5
tahun, Syekh Abdullah mendirikan surau (pesantren) di Halaban, tepatnya di Batu
Nan Banyak Halaban pada tahun 1870. Surau ini dikenal dengan sebutan Surau
Baru. Lembaga pendidikan surau Syekh Abdullah ini maju dengan pesat. Karena
banyaknya murid-murid dari luar daerah Halaban yang berdatangan untuk menuntut
ilmu di Surau Baru ini, maka Syekh Abdullah memperbesar surau tersebut dan
membuat rumah-rumah penampungan untuk murid-murid yang dikenal dengan sebutan
Rumah Tongah (Rumah Tengah). Sebutan ini dikarenakan letak bangunan tersebut
terletak di tengah-tengah bangunan yang banyak berdiri di dekatnya.
Langkah
pertama yang dilakukan Syekh Abdullah dalam meningkatkan mutu pendidikan
suraunya adalah mengadakan perbaikan terhadap sistem belajar. Pada mulanya
sistem pendidikannya di surau ini tidak teratur, yaitu kapan saja Syekh sanggup
mengajar, bila tidak sanggup maka proses belajar tidak dilakukan. Sejak itu,
Syekh Abdullah mengaturnya dengan sistem _ halaqah yaitu murid-murid duduk
mengelilingi gurunya dan membentuk lingkaran-lingkaran yang masing-masing
dipimpin oleh guru tua atau guru bantu untuk membantu Syekh Abdullah dalam
mengajar di tingkat dasar. Pengajian surau dibagi pada tiga tingkat yaitu
pengajian al-Qur'an tingkat dasar, pengajian kitab dan pengajian khusus bagi
murid-muridnya yang telah tamat dad pengajian kitab. Setelah seorang murid
menamatkan Juz Amma dengan baik pada tingkat permulaan, barulah ia naik ke
tingkat atas. Disini ia mulai mempelajari al-Quran dalam arti yang sebenamya.
Selain mempelajari al-Qur'an, juga dipelajari pengajian qiraat, tajwid, ibadah
dan kitab perukunan. Semuanya berlangsung dengan sistem hafalan dan bersama-sama
melagukannya. Pengajian al-Qur`an ini dilakukan setelah sholat Maghrib sampai
shalat Isya. Setelah menamatkan pengajian al-Qur'an, maka dilanjutkan pada
pengajian kitab. Dalam pengajian kitab ini, pelajaran yang diajarkan antara
lain Ilmu Nahwu, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, Ilmu Tauhid, llmu Tafsir dan
lain-lain. Kitab-kitab yang dipakai antara lain Kitab Matan Ajrumiyah, Asymawi,
Alfiah, Qatrun Nada untuk Nahwu, Kitab Kailani dan lain-lain untuk Ilmu Sharaf.
Untuk Fiqh dipakai Kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, fathul wahab, Mahalli dan
kitab-kitab lainnya. Sedangkan untuk ilmu tafsir dipakai Tafsir Jalalin, Tafsir
Baidlawi, Khazin dan kitab lainnya. Pada masa ini juga diajarkan Ilmu Mantiq,
Ilmu Balaghah dan Ilmu tasauf.
Guru yang
mengajar pada bagian kitab adalah Syekh Abdullah dibantu oleh beberapa orang
murid yang dipercayainya. Mereka sering juga disebut dengan sebutan guru tuo
atau guru bantu. Guru-guru Tuo yang terkenal membantu Syekh Abdullah seperti
Sulaiman Ar-Rasuli dari Candung Bukittinggi, Muhammad Djamil Djaho dari Padang
Panjang, Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh, Syarief Angku Bandaro dari
Lintau dan guru-guru yang lainnya.Murid-murid Syekh Abdullah yang dianggap
Syekh Abdullah cerdas yang kemudian dikenal sebagai ulama dengan kedalaman ilmu
yang cukup tinggi, antara lain : Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang berasal dari
Candung Bukittinggi. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1897 hingga
1903. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli kemudian dikenal sebagai pendiri Madrasah
Tarbiyah Islamiah dan Perti. Syekh Muhammad Djamil Djaho yang berasal dari
Djaho Padang Panjang. la belajar di surau Syekh Abdullah dari tahun 1900-1908.
Syekh Ibrahim Harun dari Tiakar Payakumbuh yang belajar dari tahun 1892-1900.
la adalah pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tiakar Payakumbuh. Syekh Syarief
Angku Bandaro yang berasal dari Lintau Tanah Datar yang belajar dari tahun
1890-1926. la adalah pelanjut surau Syekh Abdullah setelah meninggal. Selain
Surau Baru di Halaban ini, Syekh Abdullah juga mempunyai surau-surau lainnya,
terutama ditempat-tempat istrinya menetap, seperti : Surau di Bukit Sikumpar
Batu Payung, Gadut Luhak, Surau di Andalas, Surau di Batu Balang, Surau di
Situjuh Tungkar.
Satu
kebiasaan Syekh Abdullah yang masa itu yang begitu familiar dilaksanakan adalah
mengadakan acara-acara peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi Besar
Muhammad SAW., Had Isra' Mi'raj dan hari besar lainnya. Pada saat hari besar
tersebut, Syekh Abdullah sering menyembelih sapi dan kambing, kemudian ia
mengadakan makan bersama dengan para muridnya. Ketika Syekh Abdullah kembali ke
kampung halamannya di Halaban setelah berpetualang menuntut ilmu selama lebih
kurang 24 tahun, ia menyaksikan kondisi clan pemahaman keagamaan yang sangat
memprihatinkan. Kebiasaan menyabung ayam, berjudi clan berkunjung ke makam
keramat di Taram terus berlangsung. Untuk itulah ia tidak hanya berkutat di
dalam pesantrennya saja (atau istilah sekarang berkutat di menara gading), akan
tetapi Syekh Abdullah langsung terjun ketenga-tengah masyarakat memberikan
contoh clan arahan sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Dalam
kondisi seperti inilah Syekh Abdullah memulai gerakan dakwahnya. Langkah
pertama yang dilakukannya adalah meluruskan keimanan dan akidah masyarakat
untuk lebih sesuai dengan ajaran Islam. Syekh Abdullah menggunakan metode
persuasif dan empati dalam dakwahnya. Dalam menjalankan dakwahnya, Syekh
Abdullah berangkat dari satu suaru ke surau lainnya, dari satu mesjid ke mesjid
lainnya. Kadang-kadang ia langsung turun dari satu kampung ke kampung lainnya
disekitar Kabupaten 50 Kota.
Apabila
Syekh Abdullah mendengar ada kerumunan orang yang sedang melakukan sabung ayam,
maka ia akan datang ke lokasi penyabungan ayam tersebut. Kedatangannya ini
membuat peserta sabung ayam merasa gentar akan kharisma yang dipancarkannya.
Dengan penuh kelembutan tanpa kemarahan, ia akan berpetuah. Bahkan
kadang-kadang Syekh Abdullah akan bercerita tentang tuah (kelebihan) ayam.
Banyak yang terpana dengan pengetahuan Syekh Abdullah tentang tuah ayam tersebut.
Suatu yang langka pada masa itu seorang ulama memiliki pengetahuan tentang
sesuatu yang jauh dari objek kajiarmya. Setelah bercerita tentang segala
kelebihan ayam, maka mulailah Syekh Abdullah membawa para penyabung ayam
tersebut secara bertahap untuk datang ke surau. Pendekatan yang persuasif ini
membuat banyak masyarakat yang memberikan apresiasi besar terhadap cara Syekh
Abdullah "menaklukkan" para penyabung ayam di daerah-daerah sekitar
Halaban. Cara ini juga dilakukan Syekh Abdullah terhadap para penjudi.
Disamping
itu, salah satu kontribusi Syekh Abdullah yang cukup dikenang hingga sekarang,
terutama di daerah Halaban adalah terobosannya dalam merobah penyampaian
Khutbah Jum'at yang pada awalnya berbahasa Arab dirobah kedalam Bahasa Daerah.
Suatu yang revolusioner dan sangat radikal pada masa itu. Nagari Halaban
menjelang tahun 1900, yaitu ketika sedang panas-panasnya perdebatan antara kaum
tua dengan kaum muda di Minangkabau terutama mengenai akidah clan ibadah. Syekh
Abdullah telah menganjurkan kepada masyarakat Halaban dan masyarakat dimana
tempat ia berdakwah, agar penyampaian khutbah Jum'at disampaikan dalam bahasa
daerah masyarakat yang mendengarkannya, karena dengan bahasa Arab orang tidak
akan mengerti tentang apa yang disampaikan sang khatib. Pendapat yang
dilontarkan Syekh Abdullah ini mendapat tantangan keras oleh sebagian ulama
pada masanya. Akhirnya, khutbah dalam bahasa daerah di Halaban baru dilakukan
sekitar tahun 1942 setelah berdirinya Muhammadiyah di Halaban berkat usaha
murid-murid Syekh Abdullah. Ketika terjadi perdebatan tentang permasalahan
khilafiyah terutama tentang empat pokok permasalahan yaitu fiqh, tauhid,
tariqat clan ijtihad, yang terjadi antara tahun 1907-1969,
Syekh
Abdullah menanggapi polemik ini dengan arif dan bijaksana. Beliau tidak pernah
menyalahkan salah satu pihak. Ia tidak menyukai terjadinya perpecahan dalam
ummat Islam. Untuk itu, ia meluruskan pemahaman-pemahaman masalah khilafiyah
tersebut kepada masyarakat dengan menggunakan hujah-hujah dari al-Qur an dan
Sunnah Nabi SAW.
Kemudian
salah satu karya terbesar dari Syekh Abdullah adalah Masjid Raya Halaban atau
sering disebut dengan Surau Gadang. Mengingat makin banyaknya masyarakat
Halaban yang melaksanakan shalat Jum'at, sedangkan surau dan masjid tidak begitu
bagus daya tampungnya, maka pada tahun 1900, Syekh Abdullah berinisiatif dengan
dibantu oleh masyarakat membangun masjid Raya Halaban. Masjid tersebut hingga
sekarang masih ada. Setelah Syekh Abdullah meninggal dunia pada tahun 1926, ia
meninggalkan warisan yang sangat berharga, suraunya di Batu Nan Banyak. Surau
ini kemudian dipimpin oleh muridnya, Syarief Angku Bandaro selama dua tahun.
Pada tahun 1927, Syarief Angku bandaro dan dibantu oleh pemuka-pemuka
masyarakat serta murid-murid pengajian berhasil mendirikan bangunan permanen
untuk kelanjutan surau Syekh Abdullah. Pada tahun itu juga, surau tersebut
diresmikan menjadi "Thawalib Batu Nan Banyak Hataban". Sistem
pengajaran yang pada awalnya memakai sistem halaqah diganti menjadi sistem klasikal.
Murid-murid sekolah ini adalah murid-murid Syekh Abdullah terdahulu ditambah
dengan murid-murid baru. Pimpinan Thawalib Batu Nan Banyak sejak mulai
didirikan adalah : Syarief Angku Bandaro (1927-1937), Yazid Bustami (1937-1942)
dan Jamaluddin (1943-1948).
Pada tahun
1948, madrasah ini ditutup dan dijadikan Sekolah Rakyat (SR) atas anjuran
pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1949 sekolah ini ditutup
kembali karena terjadi Agresi Belanda ke-II. Sekolah ini hidup kembali pada
tahun 1953 dibawah Ranting Muhammadiyah Halaban dengan nama Madrasah Thawalib
Muhammadiyah Halaban. Pada tahun 1958, sekolah ini terpaksa kembali ditutup
karena pergolakan PRRI di Sumatera Barat hingga tahun 1965. Pada tanggal 16
Maret 1966 sekolah ini dihidupkan kembali dan diresmikan dengan nama Madrasah
Tsanawiyah Swasta Halaban (MTsSH). Usaha lain yang dilakukan Syekh Abdullah
dalam pengembangan pendidikan selain mendirikan surau adalah mengarang kitab.
Ini memperkuat kembali tesis beberapa ahli sejarah (baca : Taufik Abdullah,
Azyumardi Azra, Drewwes – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), bahwa
ulama-ulama Minangkabau pasca Paderi memiliki karakteristik khas yaitu ulama
yang “berbasis” pada pengembangan ideologi-keilmuan (berbeda dengan ulama
pergerakan a-la Paderi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar